Selasa, Februari 26, 2008

Ayat-Ayat Cinta: Cacatan Film by Asma Nadia



Setelah baca bukunya, yang awalnya gak terlalu menarik buatku karena hanya sekedar iseng baca saat nunggu istri di Rumah Sakit Harapan Kita, jadi pengen nonton film Ayat-Ayat Cinta... Resminya tayang di semua jaringan Cinema 21 tanggal 28 Februari 2008...

Setelah baca catatan Asma Nadia, saya jadi ragu, jangan2 kuciwa seperti nonton Da Vinci Code dll yang tidak seindah bukunya.

Nah, ada baiknya - menurutku - baca dulu cacatan asma Nadia yg berikut:


Alasan apa yang menggerakkan saya, yang selama ini amat sangat selektif menonton film-film lokal, dengan suka rela menyaksikan Ayat-ayat Cinta?

Bukan karena saya jatuh cinta pada novel itu. Sejujurnya agak sulit buat saya menikmati novel Ayat-ayat Cinta, yang menurut hemat saya tidak lebih dari kisah cinta biasa, yang dibumbui nilai islam. Poin lebih novel itu bagi
saya adalah setting yang disuguhkan dengan meyakinkan oleh Habib, dan wawasan keislamannya.

Saya tidak terkesan dengan penokohannya yang cenderung seragam. Tidak pula terkesan dengan alur yang bagi saya biasa saja itu. Saya sulit menerima beberapa logika yang ada.

Tetapi saya ikut bahagia bahwa novel itu menjadi bukti keberhasilan seorang penulis muslim, dari Forum Lingkar Pena. Habib, yang bagi saya tidak ubahnya adik itu berhasil membuktikan bahwa novel Islam bisa sangat komersil. Siapa
bilang harus mengumbar ketidaksenonohan untuk membuat novel anda dilirik tidak hanya pembaca dalam negeri? Siapa bilang novel menjual ketidakpatutan untuk bisa difilmkan?

Setulus hati saya berbahagia dan mengucapkan selamat untuk Habib. Dan sebagai bentuk solidaritas dan sayang saya pula, maka saya anggukan kepala ketika malam itu, kakak saya mengajak saya untuk nonton bareng AAC usai acara di library@senayan bersama Nasanti, Pritha dan Ari.

Saya tahu banyak yang pesimis pada usaha memfilmkan sebuah novel. Don't judge the book by its movie! itu yang sering dikatakan orang:) Tetapi ada juga bisik2 yang sampai ke telinga saya, mengatakan film ini ditangan Hanung Bramantyo akan lebih dahsyat dari novelnya, "Menurut Hanung, ini merupakan karya terbaik dia," kata seorang teman lagi. Begitu saja optimisme menyeruak di kalangan sebagian orang. Novel best seller ditangan sutradara ternama, siapa yang meragukan?

Dan di situlah saya, duduk bersisian dengan Pritha mencermati adegan demi adegan dalam film AAC. Saya tahu pasti tidak mudah memeras novel setebal AAC menjadi bahasa visual dengan durasi 2 jam lebih itu. Dan mustahil menyuguhkan selengkap versi buku. Tetapi beberapa film sebutlah Lord of The Ring, Harry Potter, PS. I love you dll, konon meski tidak penuh mewakili setiap detil di filmnya, tetap mendapat sambutan baik. Pendeknya penonton tidak kecewa karena bisa menikmati versi filmnya. Bagaimana dengan AAC?

Film berjalan lambat. Ada sedikit adegan lucu di awal yang sempat membuat beberapa penonton tersenyum. Tetapi setelahnya film mengalir datar tanpa konflik yang membetot seluruh rasa penasaran dan emosi saya sebagai penonton
AAC tidak ubahnya cinta segiempat beda negara, Fahri yang orang Indonesia, dengan Maria Girgis tetangga satu flat yang beragama Kristen Koptik, Fahri dengan Nurul-ah yang ini sama2 Indonesia, lalu Fahri dengan Noura (Mesir),
dan terakhir Fahri dengan Aisha (German).

Menyaksikan cast satu-satu pemain, saya mulai merasa tidak kuat. Saya merasa usaha sutradara untuk 'membohongi' saya dengan film ini benar-benar keterlaluan. Bagaimana saya bisa memercayai bahwa Surya Saputra sebagai orang German? Sementara sosoknya (bukan sekadar berkulit putih ya...) kental di ingatan saya sebagai pemain film Indonesia. Saya menolak memercayai Zaskia Mecca sebagai orang Mesir, saya tidak bisa menerima Marini sebagai orang Mesir. Banyak lagi cacat dari segi casting ini... Sutradara menempatkan pemain2 yang sudah dikenal baik di Indonesia dan berupaya
memalsukan' mereka, tidak ubahnya sandiwara-sandiwara atau film-film zaman dulu di mana yang berperan sebagai tentara Belanda adalah pemain dengan tampang Indonesia juga. Parahnya pemeran yang dipilih punya sosok yang
kadung kuat di ingatan penonton.

Batin saya tersiksa menyaksikan pertemuan Fahri dengan Aisha di kereta. Ketika seorang penumpang (ceritanya dia 'orang mesir') nyaris berkelahi dengan Fahri dan menyebut, "Ya Indonesia!" atau adegan lain ketika Fahri di
penjara... di mana seorang dengan tampang jelas2 Indonesia, bicara dengan bahasa Indonesia, tetapi berperan sebagai bukan orang Indonesia, dan menyebut Fahri dengan "Indonesia!" Jeruk kok minum jeruk... begitulah
perasaan saya.

Bagaimana dengan sosok Fedi Nurul sebagai Fahri? Dalam salah satu blog saya membaca alasan utama Mas Hanung memilih Fedi: Fahri bukan lelaki sempurna. Tapi yang membuat Fahri tampak sempurna karena dia sadar bahwa dirinya tidak
sempurna." Tapi Fahri versi Hanung Bramantyo tidak membuat saya teryakinkan bahwa laki2 itu telah menjadi sumber patah hati akut hingga depresi begitu banyak gadis. saya tidak jatuh cinta bahkan tidak juga bisa sekadar menerima alasan kenapa para gadis itu sedemikian terobsesinya pada si Fahri ini?

Perlu seseorang yang sangat amat kuat untuk memerankan Fahri hingga penonton teryakinkan. Fahri di sini makin lama makin cengeng... Cara berdirinya, caranya memandang, terutama cara membantahnya terhadap Aisha, yang lebih
terlihat sebagai gerutuan anak kecil kepada ibunya, ketimbang protes atau nasihat seorang suami kepada istrinya (adegan makan bersama dengan Aisha,Maria, dan ibunya dengan Fahri, adegan laptop, pertengkaran ketika keluarga
Nurul datang).

Logika cerita? Nggak kalah kacaunya. Proses menemukan Noura yang sudah setidaknya belasan atau bahkan 20 tahunan tertukar dari orang tua asli, terjadi secepat kilat. Pertama Fahri meminta tolong seseorang, kemudian sim
salabim... tanpa ada proses yang terlihat (make a call perhaps? atau sedikit kesibukan lain sebagai upaya pencarian?) adegan berikutnya adalah Noura bertemu dengan orang tua kandungnya.

Adegan Fahri berta'aruf dengan Aisha pun sulit diterima logika. Bagaimana bisa Fahri yang selama ini saleh dan memiliki konsep tentang soul mate (jodoh) yang sedemikian, juga wawasan keislaman yang mantap, dan karenanya
belum juga menikah itu, dengan mudah memutuskan menikahi Aisha hanya beberapa detik setelah Fahri memandang dengan tidak berkedip wajah Aisha setelah membuka cadarnya... Yang membuat saya membatin: fisik sekali...
alasan Fahri menikahi Aisha! Tidak ada diskusi, atau surat2an atau upaya mencari tahu dari pihak lain, yang membuat Fahri mengenal cara pandang, kecerdasan, kelebihan2 lain dari Aisha kecuali beberapa pertemuan singkat
yang tidak membahas hal2 yang esensi (Aisha jatuh cinta pada wawasan Fahri, oklah ada bbrp lanjaran.. tetapi sebaliknya? Begitu mudah?).

Yang lebih meletihkan adalah adegan yang sebagian besar indoor, yang benar2 membunuh justru kelebihan utama dari novel ini: setting. Sia-sia berharap bisa melihat keindahan sungai Nil, dan Mesir. Sekalinya ada adegan outdoor,
jauh dari romantis malah terkesan norak habis, adalah adegan Fahri berboncengan unta dengan Aisha di padang pasir.

Kekacauan logika lain, yang terlihat amat dipaksakan adalah permintaan Aisha agar Fahri menikahi Maria yang terbaring koma. Fahri yang tidak punya pendirian itu pun (utk orang secerdas dan sebagus itu pemahaman islamnya,
gitu lho:P) menurut, hanya sedikit menyampaikan bantahan yang tidak meyakinkan. Btw terlihat dari awal pernikahan dengan Aisha di mata saya Fahri terlihat tak ubahnya suami-suami takut istri:P

Dan ajaib, kunjungan sekali Fahri dan pernikahan kilat yang dilakukan ketika Maria sedang koma, pun membangunan Maria dari koma panjangnya. Sungguh luar biasa!

Secara keseluruhan, film AAC jauh dari proporsional. Di bagian awal-awal yang tanpa konflik mendapat porsi lebih dari yang seharusnya. Sementara adegan penting di mana konflik dimulai (tuduhan terhadap Fahri) dan penyelesaiannya kurang mendapat porsi, hingga meninggalkan ketidakjelasan di beberapa bagian.

Menonton AAC memberikan saya penderitaan yang tidak usai bahkan ketika kami meninggalkan bioskop, dan berkendaraan pulang. Mungkin karena sosok Fahri yang kurang meyakinkan itu lagi, saya sulit menerima potret perempuan yang
ditampilkan. Satu perempuan yang terobsesi dan depresi karena cinta tidak bersambut, okelah. Tapi tiga??? Satu lagi, saya tidak melihat ada penggambaran usaha Fahri mencari nafkah, selain hanya disebutkan dalam kalimat sekilas (Penonton diberitahu, tidak 'ditunjukkan'). ketidakterlibatan keluarga Aisha yang kaya ketika Fahri dipenjara, juga
sulit diterima, apalagi Fahri terancam hukuman mati. momen yang rasanya amat membutuhkan dukungan keluarga.

yang saya tidak mengerti kenapa persoalan teknis (perpindahan adegan) dan editing terasa kasar? Kalah oleh film2 Indonesia yang lain. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi dalam film besutan sutradara sekelas Hanung Bramantyo.

Terakhir, dengan sebegitu banyak cacat yang membuat film AAC menjadi kisah cinta klise yang membosankan, adakah kebagusan film ini? Ada, salah satunya soundtrack film. Apalagi? Ah, beberapa penonton perempuan cukup mengejutkan
kami berenam karena mereka ternyata menangis. Tentu saja saya tidak boleh berprasangka buruk bahwa mereka menangis karena sama tersiksanya seperti saya:).


Seperti kata seorang teman, "Bisa jadi film itu memang cukup memadai buat sebagian penonton, tahu sendiri selera sebagian besar penonton Indonesia... bisa diukur dari sinetron-sinetron di tivi. Film AAC memang dibuat bukan
untuk penonton macam 'kita'", katanya.

Bagaimanapun ada beberapa pesan al. ketidakberpihakan Habib pada poligami tertangkap cukup jelas. lainnya AAC jelas jauh lebih sehat dari film2 hantu belakangan ini yang cuma mencari efek menakutkan pembaca dan tidak berisi.

Maafkan kejujuran saya jika menyinggung beberapa pihak. Tapi bentuk sayang dan peduli saya kira tidak melulu diekspresikan hanya dengan pujian. Kritik selalu perlu agar kita, bisa memproses diri menjadi lebih baik.

Asma Nadia




Rgds,

RA-B 06 FIF

Tidak ada komentar: